Jumat, 15 April 2016

 Kuis Kebangsaan: Sebuah Kampanye Terselubung yang Membodohi Publik

Widi Ayuningtyas

Kuis Kebangsaan yang disiarkan langsung oleh RCTI, sebuah stasiun TV milik Hary Tanoesodibjo, gabungan media MNC grup yang juga cawapres dari partai Hanura. Kuis ini merupakan kuis yang termasuk kedalam kategori kuis interaktif. Kuis tersebut terlihat seperti kuis kebanyakan di televisi. Ada seorang presenter yang menyampaikan tata cara permainan, lalu menyampaikan pertanyaan. Atau memberikan waktu dan tempat kepada seorang bintang tamu untuk membacakan pertanyaan tersebut. Kemudian seorang penelpon akan menjawab pertanyaan itu dan mendapatkan sebuah hadiah.
Penelepon kuis wajib menyebutkan password atau kata kunci Besih, Peduli, Tegas. Kemudian, presenter memberikan opsi kepada penelepon untuk memilih satu dari lima huruf yang disediakan yaitu WINHT dimana didalamnya terdapat pertanyaan yang kemudian akan dijawab oleh penelepon. Pertanyaan biasanya berhubungan dengan Bangsa Indonesia.
 Kuis ini ditayangkan setiap hari pada pukul 09.30 WIB dan pada pukul 17.00 WIB. Hadiah yang disediakan mulai dari barang elektronik hingga sepeda motor tiap episodenya. Ada dua penelepon yang berkesempatan memperoleh hadiah yang disediakan tadi.
Kuis ini sempat mendapat pro dan kontra karena terdapat unsur kampanye politik terselubung, dengan mengikutsertakan salah satu pasangan capres dan cawapres dari partai Hanura yaitu Wiranto dan Harry Tanoesoedibjo. Kemudian adanya unsur WINHT yang begitu kental di kuis ini. Bintang tamu yang membacakan pertanyaan kebanyakan juga adalah simpatisan dan birokrat dari partai Hanura. Ada begitu banyak konteks politis dalam kuis ini. Seperti yang dikutip oleh beberapa media online, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat menjatuhkan sanksi administratif berupa penghentian sementara program siaran Kuis Kebangsaan yang ditayangkan oleh TV swasta milik Harry Tanoesoedibjo tersebut. Penghentian tersebut berlaku sejak 21 Februari 2014 hingga dilakukannya perubahan materi program siaran tersebut. Ketua KPI Judhariksawan mengatakan program tersebut mengandung isi siaran tak netral dan dimanfaatkan oleh pemilik lembaga penyiaran untuk kepentingan pribadi. KPI berharap sanksi administratif ini menjadi pelanggaran bagi lembaga penyiaran lain yang masih menyiarkan materi iklan politik yang melanggar ketentuan dalam P3SPS. 

Selain itu, daftar pelanggaran yang dilakukan oleh Kuis Kebangsaan menurut pasal- pasal hukum media massa yang relevan adalah sebagai berikut:

Pertama, frekuensi publik dan penyiaran untuk kepentingan pencitraan dan mendongkrak suatu partai. UU penyiaran No. 32/2002 pasal 1 ayat 4 yang berisi penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan. Undang-undang penyiaran pasal 5 Pasal 5 penyiaran diarahkan untuk memberi informasi benar, seimbang dan bertanggung jawab.Undang-undang penyiaran Pasal 6 ayat 2 berisi frekuensi yang digunakan oleh siaran televisi adalah ranah publik dan sumber daya alam terbatas. Karena itu pula, Negara menguasai spectrum yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 36 ayat 4 berisi siaran wajib dijaga netralisasinya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
P3SPS 2011 pasal 11 dan pasal 11 ayat 1 dan ayat 2 P3SPS yang berisi tentang lembaga penyiaran wajib menjaga indenpendensi dan netralisasi isi siaran dalam setiap program siaran. Program siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan publik dan bukan buat kepentingan  tertentu. Program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran dan atau kelompoknya. Serta Pasal 71 ayat 3 yang berisi program siaran dilarang memiak salah satu peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah.
Menurut Noam Chomsky, media selalu terpengaruh oleh 5 filtrasi. Lima filtrasi tersebut antara lain adalah: kepemilikan, periklanan, narasumber media, flak, dan antikomunisme (Chomsky, 1988; Dalam Shei Latiefah; 2011). Tak dapat dipungkiri kepemilikan media akan berpengaruh pada bagaimana konten yang disajikan di media tersebut, dan bagaimana framing pemberitaan yang dihadirkan. Media dapat menjadi corong politis yang berfungsi melayani kepentingan pemiliknya. Ini berbahaya karena akan terjadi bias dalam pemberitaan tersebut dimana fakta yang sebenarnya bisa saja terabaikan demi mengedepankan kepentingan sang pemilik media. Terlebih jika pemilik media tersebut berafiliasi dengan sebuah kegiatan politik tertentu.
Maka teori Chomsky tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa Kuis Kebangsaan memberikan slot khusus untuk kepentingan politik dari pasangan capres dan cawapres dari partai Hanura yaitu Wiranto dan Harry Tanoesoedibjo. Menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan pencitraan dan mendongkrak suara partai mereka. Hal itu menunjukan hilangnya etika dan norma hukum penyiaran. Sejatinya frekuensi publik harus digunakan untuk kemaslahatan masyarakat. Namun dengan kuatnya unsur kepemilikan media dalam kasus ini, maka Harry Tanoesoedibjo bisa dengan leluasa memanfaatkan frekuensi publik itu untuk kepentingan pribadinya sebagai seorang politisi. Sangat jelas, faktor kepemilikan ini menimbulkan bias dalam konten yang disajikan. Selain itu pula, frekuensi publik untuk kepentingan politik juga melanggar Pedoman Perlaku Penyiaran Standar Program Siaran (P3SPS) yang menyebutkan suatu lembaga penyiaran harus bersifat netral tidak dipengaruhi oleh pihak internal maupun eksternal termasuk pemilik modal lembaga penyiaran. Disini menunjukan ada perilaku naif dari para pemilik media yang terjun kedunia politik yang ingin  mengusung kepentingannya sesaat
Seperti yang telah dituturkan William L. Rivers, dalam bukunya Media massa dan Masyarakat Modern, yang menyebutkan bahwa media menggunakan kekuatan besarnya untuk mempromosikan kepentingan pemiliknya saja. Mereka bersiteguh ada pandangan-pandangan politik dan ekonominya sendiri. Mereka mengabaikan atau bahkan memberangus pendapat yang lain. (Rivers, 2008:89).
Daftar pelanggaran yang kedua adalah kebohongan publik. Kuis Kebangsaan ternyata telah di setting. Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Komisi Penyiaran Indonesia dalam pasal 49 menyebutkan bahwa “lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program kuis yang mengandung unsur penipuan dan perjudian.”
Program Kuis Kebangsaan yang nampak seperti kuis dengan peserta umum, ternyata sudah mengalami proses setting dimana peserta yang ikut sebenarnya adalah talent dari program. Hal ini diindikasikan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa banyak orang yang mendukung langkah WINHT dalam berpolitik, dan menjadi semacam penggiringan opini publik untuk lebih mengenal kedua pasangan calon capres dan cawapres itu.
Pengguna media sosial ramai membicarakan Kuis Kebangsaan WIN-HT. Kuis ini diduga telah diatur setelah beberapa peserta melontarkan jawaban sebelum pembawa acara mengajukan pertanyaan. Dalam sebuah video yang diunggah di media sosial, seorang warga bernama Syaifudin dari Trenggalek, Jawa Timur, melontarkan jawaban “A. Istana Maimun.” Padahal Syaifudin belum memilih pertanyaan yang diajukan. “Huruf apa Pak? Bukan. Ini dia nih. Bapak boleh pilih dulu huruf W,I,N,H,T yang ada disebelah saya. Silahkan, kata Tiffany, pembawa acara, sambil menunjukan pilihan huruf yang dapat dipilih oleh Syaifudin. Syaifudin pun terdengar kebingungan, dan sempat berkata, “Ooh…”Setelah dipikir sejenak, Syaifudin pun akhirnya memilih pertanyaan yang berada dibalik huruf “H”. setelah itu, Syaifudin pun diajukan pertanyaan sebagai berikut: “Istana yang menjadi salah satu ikon kota Medan dan dibangun pada tahun 1888 adalah?” dibawah pertanyaan ada tiga pilihan jawaban, yaitu A. Istana Maimun B. Gedung Sate C. Museum Gajah. Syaifudin pun kembali mengulang jawaban, “A. Istana Maimun” yang dinyatakan benar.
Adapun contoh kasus yang sama dengan yang dialami oleh Syaifudin. Seorang warga dari Medan bernama Yoel pun sempat kebingungan mengikuti kuis ini. Sebelum mendapatkan pertanyaan, Yoel langsung melontarkan jawaban, “A. MT Haryono”.  Akhirnya pembawa acara pun mengingatkan Yoel untuk memilih pertanyaan terlebih dahulu. Yoel pun sempat memilih huruf “A”. Padahal, dilayar kaca tak ada huruf A. huruf yang tersedia adalah W,I,N,H,T. Akhirnya, Yoel pun memilih huruf “W” lalu pertanyaan pun diajukan, “Selain Ahmad Yani, siapa yang termasuk kedalam 7 pahlawan revolusi?”. Selanjutnya, ada tiga pilihan jawaban, yaitu: A. MT Haryono B. Gatot Subroto C. Slamet Riyadi, dan Yoel pun memilih jawaban A. MT Haryono yang dinyatakan benar.
Dengan konglomerasi media, maka media menjadi ladang bisnis menggiurkan serta alat untuk memperkuat bisnis ekonomi dan politik pemilik media. Konglomerasi media terbentuk dari kapitalis global. Sehingga yang harus merasakan dampaknya adalah industri media itu sendiri, pekerja media, isi media dan khalayak sebagai pengguna media. Hal tersebut menjadi masalah nasional yang bisa dikatakan berbahaya karena bisa berdampak luas jika media ini hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Akibat konglomerasi media mempengaruhi output media menjadi tidak objektif, terutama yang berkaitan dengan faktual dan news. Para pemilik modal dapat dengan seenaknya masuk dalam ranah editorial media. Mereka dengan mudah memutarbalikan fakta, berita palsu dan cenderung berpihak yang menguntungkan sang pemilik media. Pihak yang paling dirugikan tentu saja khalayak masyarakat yang menggunkan media itu, karena setiap berita yang ditampilkan harus bedasarkan fakta atau kebohongan publik untuk itu diperlukan regulasi yang dapat mengatur atau membatasi pemusatan kepemilikan media massa. Jika dibiarkan maka pertelevisian kita setiap hari hanya memperontonkan kebohongan hanya demi kepentingan pemilik.


Daftar Pustaka
Latiefah, Shefti. 2011. Pendidikan Media dan Pilar ke-5 Demokrasi ; Sebuah Makalah. Jakarta
Rivers, William L. 2008. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/02/21/n1baab-kpi-jatuhkan-sanksi-penghentian-sementara-untuk-kuis-kebangsaan-dan-indonesia-cerdas

Pernah di publikasikan dalam sebuah buku berjudul Jagal Ah Media tahun 2014.
Penerbit: Buku Litera Yogyakarta







Kamis, 14 April 2016

Multikultur Indonesia dalam Film Demi Ucok tahun 2012
Gambar 1 cover film Demi Ucok

Film Demi Ucok (2012) yang disutradarai oleh Sammaria Simanjuntak bercerita tentang perselisihan ibu dan anak. Film ini semacam autobiografi dari sang sutradaranya sendiri. Mak Gondut, seorang janda yang memiliki seorang anak perempuan bernama Glo. Glo yang bermimpi menjadi sutadara terkenal tidak ingin menjadi seperti ibunya yang melupakan impiannya saat setelah menikah. Glo yang sudah dewasa, belum juga ingin menikah dan bahkan dirinya belum memiliki pacar. Dia selalu menolak ketika ingin dijodohkan oleh ibunya. Mak Gondut yang divonis oleh dokter bahwa hidupnya tak lama lagi pun terus berusaha mencarikan jodoh untuk anaknya agar cepat menikah. Berikut bisa kita lihat kutipan percakapan antara Mak Gondut dan Glo.
Mak Gondut : Kawin dulu lah kau, baru kejar mimpi-mimpi…
Gloria            : Ga mau, Glo  ga  mau hidup menjadi sia-sia. Glo mau mengejar mimpi.
Mak Gondut : Egois sekali itu, hidup harus untuk sesama. Baru itu namnya hidup yang  berarti.

 Kutipan dialog di atas menggambarkan perselisihan ibu dan anak yang akan menjadi konflik film ini sejak awal hingga akhir. Konfliknya terbilang sederhana namun bisa jadi justru malah mengena dibenak banyak orang. Mulai dari persoalan anak muda yang asyik dengan mimpi-mimpinya, sementara orang tua terus mempertanyakan soal jodoh.
Latar belakang budaya Batak menjadi daya tarik tersendiri dalam film ini. Seperti halnya musik gondang dan penampilan Mak Gondut yang memakai kain ulos khas Batak. Selain itu juga di film ini terdapat selingan cuplikan pernikahan adat Batak.
Dalam film ini juga terdapat teori etnosentrisme yang merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih unggul dibandingkan budaya lainnya. Pandangan bahwa budaya lain dinilai berdasarkan standar budaya kita. Seperti kata Mak Gondut yang menganggap bahwa orang Batak lebih baik daripada orang lain yang tidak memiliki darah Batak.
Gloria              : Kenapa harus sama orang Batak? (Tanya Glo saat mak Gondut menyarankan dia untuk segera menikah dan harus sesama Batak)
Mak Gondut   : Ibarat anjing, kalau ras nya sama, keturunannya akan baik. Seseorang dilihat juga dari keturunanya.

Gambar 2 Mak Gondut menyarankan Glo untuk menikah dengan lelaki Batak

Di film ini juga terlihat jelas unsur multikuturalismenya yang sangat kuat. Glo memiliki teman keturunan Chinese yaitu Niki dan Acun. Keakraban Glo dengan teman-temannya itu, memperlihatkan keberagaman dan perbedaan kepercayaan yang ada dalam masyarakat. Namun, mereka mengakui perbedaan tersebut dengan cara saling menghormati dan toleransi, tidak membeda-bedakan unsur etnis, keyakinan dan kepercayaan yang dianut.

                                            Gambar 3 keakraban antara Mak Gondut, Glo, Niki dan Acun

Dalam teori, multikulturalisme merupakan sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural group) dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain (Sparringa dalam Forum Rektor Indonesia, 2003:17). Ciri lain yang bisa dijumpai dari masyarakat multikultur adalah adanya kecenderungan diantara masing-masing suku bangsa untuk mengekspresikan identitas budaya mereka melalui cara-cara yang spesifik, seolah-olah satu dengan yang lainnya tidak saling berhubungan. (Suparlan,2008:34). Contohnya saja adanya perlakuan diskriminatif kelompok suku bangsa mayoritas pribumi terhadap kelompok mayoritas Tionghoa, mulai dari yang terberat sekalipun.
Permasalahan serius yang dihadapi Indonesia sebagai negara multikultur adalah ancaman antar suku, ras, dan agama. Sumber konflik ini sering kali berawal pada klaim bahwa ada golongan tertentu yang lebih baik dan unggul dibandingkan dengan kelompok lain. Kelompok dominan biasanya menjadi pihak yang paling diuntungkan. Namun masalah heterogenitas tersebut mampu memfungsikan semua elemen bangsa dalam kesadaran fundamental “Bhineka Tunggal Ika”. Ini merupakan ungkapan yang sangat baik untuk memandang keragaman kebangsaan Indonesia sehingga keutuhan sebuah peradaban di Indonesia benar-benar terjadi. Konsep dan elemen dasar wawasan kebangsaan adalah kemajemukan masyarakat yang multikultur (Afif, 2012:45).
Kelompok-kelompok yang ditonjolkan dalam film ini merupakan kelompok budaya Batak. Di film ini Mak Gondut ingin menjodohkan Glo dengan seorang laki-laki yang juga berketurunan Batak. Terlihat kelompok-kelompok etnik dan budaya  tertentu ingin tetap eksis dan ingin melestarikan budaya dan keturunan. Lalu film ini juga menampilkan kekerabatan antara budaya Batak saat dimunculkannya sekilas scene tentang pernikahan budaya Batak.
Beberapa adegan membutuhkan konteks pemahaman stereotipe budaya Batak yang beredar di masyarakat. Misalnya, Mak Gondut berkali-kali menyatakan Glo harus mendapat laki-laki asli Batak bukan campuran. Ketika Nikki (Saira Jeihan) teman Glo muncul di tengah keluarga Glo dan mengatakan kalau ia masih keturunan Batak. Mak Gondut pun beropini
Mak Gondut   : Lho, kau Batak? Kok cantik?
Dari dialog tersebut ada anggapan perbandingan tampilan fisik antara Nikki yang merupakan Batak campuran lebih menarik dari Glo yang Batak tulen. Stereotipe yaitu kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan karaktek tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota kelompok (Judd, Ryan & Parke dalam Byrne, 2003:230).
Ambisi Mak Gondut sangat berlawanan dengan idealisme Glo yang memiliki tekad kuat untuk mengejar cita-citanya menjadi sutradara film. Glo juga tidak ingin bernasib sama dengan ibunya yang menikah, kemudian lupa untuk bermimpi dan hidupnya menjadi membosankan. Mencapai mimpi memang tidak mudah, baik itu mimpi Mak Gondut agar anaknya bisa kawin dengan pria Batak maupun mimpi yang didambakan Glo, menjadi sutradara film. Namun masalah yang dihadapi Glo adalah dia tidak memiliki dana untuk membuat film. Glo harus menerima kenyataan susahnya mencari produser dan investornya.
Di saat Glo mencari dana untuk filmnya, Mak Gondut menawarkan uang asuransinya senilai satu milyar dengan syarat Glo harus menikah dengan laki-laki Batak pilihannya. Glo pun kemudian harus membuat pilihan, apakah memilih tawaran dari ibunya atau tetap berusaha untuk meraih cita-citanya membuat film dengan biaya sendiri. Konflik ini kemudian melibatkan banyak pihak termasuk teman- teman Glo, yaitu Niki dan Acun. Film ini juga berisi humor dan canda yang ditampilkan dari kata-kata Mak Gondut yang tegas khas Batak.
Namun, ada beberapa catatan menarik dalam film ini. Pertama, Sammaria sang sutradara berusaha menyampaikan kritik terhadap sineas dan filmnya di tanah air. Berkali-kali di beberapa bagian Sammaria melalui Glo menyatakan bahwa menjadi pembuat film itu duit yang didapatkan tak banyak, yang banyak adalah pajaknya. Kedua, Sammaria juga menyampaikan bahwa sebagai pembuat film, sineas tak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Sammaria menghadirkan kesaksiannya sebagai pekerja fil sekaligus gadis Btak di tengah lingkungan dan adat Batak yang erat.
Di film Demi Ucok ini kita disuguhkan beberapa informasi mengenai kebudayaan Batak yang disajikan secara umum dan mudah dimengerti oleh siapa pun. Film tersebut berisi kisah lucu yang menggelitik dan adegan yang bisa memancing emosi bagi para penontonya.
Catatan menarik lainnya yang dapat kita tangkap dari film ini adalah adanya perbedaan antara etnosentrisme dan multikulturalisme. Etnosentrisme direpresentasikan dalam laku dan bicara Mak Gondut sebagai wanita Batak yang menganggap sukunya yang paling baik, sementara multikulturalisme digambarkan dalam hubungan Glo dengan teman-temannya dari suku lain yang begitu fleksibel dan setara. Salah satu yang membuat sebuah film menarik adalah saat ada pesan moral terselip di dalamnya. Demi Ucok barangkali di permukaan hanya nampak sebagai sebuah film romansa semi komedi yang mengangkat stereotype suku Batak. Namun dibaliknya dapat kita petik pesan moral mengenai Multikulturalisme. Bahwa permasalahan serius perbedaan etnis dan ras di Indonesia tak seharusnya terjadi tatkala semua orang menyingkirkan etnosentrisme. Sedikit banyak Demi Ucok mengajak kita mengingat kembali kadar kebhinnekaan kita, kesadaran kita akan heterogenitas atau keberagaman suku bangsa Indonesia. Glo dan pergaulannya dengan teman dari beragam suku mengajak penonton menghayati kembali apa itu makna multikulturalisme.

Tulisan ini pernah diterbitkan di buku Mata Sinema pada tahun 2014 di Yogyakarta.
Penerbit: Buku Litera Yogyakarta